Energi Terbarukan Atau ReneENERGY SEBAGAI SUMBER ENERGI LISTRIK DAN DAMPAKNYA BAGI LINGKUNGAN

Lingkungan Hidup

Penulis: Musdalifah, Siti Nurhaliza Bachril, Muh. Ferdi, Salahuddin dan Sulastri Mayapada

Penggunaan Energi untuk Ketenagalistrikan di Indonesia

Indonesia merupakan negara dengan potensi energi terbarukan / renewable energy yang besar dan dapat dimanfaatkan sebagai sumber daya dalam memenuhi berbagai kebutuhan, salah satunya pasokan energi listrik. Potensi energi terbarukan Indonesia yang dapat dimanfaatkan untuk ketenagalistrikan mencapai 443 gigawatt (GW), meliputi tenaga panas bumi, air dan mikrohidro, solar, bioenergi, tenaga angin dan gelombang laut. Porsi terbesar berada pada tenaga surya dengan potensi lebih dari 200 GW, kemudian diikuti oleh air dan angin [1]. Namun, penggunaan energi untuk ketenagalistrikan di Indonesia saat ini masih didominasi oleh energi tak terbarukan / non renewable energy, utamanya energi fosil. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), batubara masih mendominasi porsi bauran energi pada pembangkitan tenaga listrik nasional. Hingga Mei 2020, bauran batubara masih menguasai 63,92% dari pemakaian energi primer untuk memproduksi listrik. Disusul dengan bauran gas sebanyak 18,08%, energi baru terbarukan (EBT) 14,95% dan energi berbasis Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar 3,05% [2].

Target Penurunan Emisi Sektor Energi dan Komitmen Bauran Energi Indonesia

Kesadaran masyarakat internasional terhadap berbagai isu lingkungan global yang melibatkan dampak penggunaan energi sebagai akar permasalahannya telah menghantarkan negaranegara untuk bersepakat melakukan perbaikan, termasuk Indonesia. Pembentukan komitmen Indonesia dalam perbaikan proses dan cara penggunaan energi dituangkan lewat berbagai instrumen, baik pada skala internasional maupun nasional. Pada Konferensi Para Pihak the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) ke-21 atau Conference of Parties 21 (COP21 / CMP11), negara-negara pihak UNFCCC menyetujui dan mengadopsi Paris Agreement / Perjanjian Paris [4], sebuah kesepakatan internasional untuk memerangi perubahan iklim. Sebagai bentuk komitmen dalam penanganan isu perubahan iklim, Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris melalui Undangundang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change.

Elemen sentral untuk mengimplementasikan Perjanjian Paris adalah Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional / Nationally Determined Contributions (NDC) yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari dokumen ratifikasi. NDC berisi rencana iklim nasional dan langkahlangkah terkait iklim yang ingin diterapkan pemerintah dalam menanggapi perubahan iklim [4].

Melalui NDC yang disampaikan pada 2016, Indonesia menyatakan sejumlah komitmen dalam penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Di bidang energi, Indonesia memiliki taget untuk menurunkan emisi sebesar 314 juta ton CO2e dengan skenario Countermeasure 1 (CM1) / tanpa bantuan internasional dan sebesar 398 juta ton CO2e dengan skenario CM2 / dengan bantuan internasional pada 2030 [5].

Dalam hal bauran energi, sebelum adanya instrumen UU Ratifikasi Perjanjian Paris beserta NDC-nya yang juga memuat komitmen bauran energi nasional, Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional telah menguraikan ambisi untuk mentransformasikan bauran pasokan energi pada tahun 2025 dan 2050, salah satunya dengan menetapkan EBT paling sedikit 23% pada 2025 dan paling sedikit 31% pada 2050 [6].

Instrumen lain yang juga memuat komitmen penggunaan dan bauran energi Indonesia adalah Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres RI) Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Perpres TPB). Perpres ini merupakan tindak lanjut kesepakatan pembangunan berkelanjutan global sebagaimana tertuang di dalam dokumen Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development yang bertujuan untuk mengakhiri kemiskinan, meningkatkan kesehatan masyarakat, mempromosikan pendidikan dan memerangi perubahan iklim.

Salah satu sasaran penting yang diatur oleh Perpres PTB adalah target bauran energi terbarukan Indonesia mencapai 10-16% pada tahun 2019 [7]. Lebih jauh, di dalam Peta Jalan TPB-nya [8], Indonesia menargetkan bauran energi terbarukan sebesar 12.1% dengan skenario business-as-usual dan 26.1% dengan skenario intervensi pada tahun 2030.

Komparasi Dampak Lingkungan Pengunaan Energi Fosil dan Energi Terbarukan Pada Pembangkit Listrik

Dorongan untuk melakukan peralihan dalam penggunaan energi dari energi fosil yang merupakan energi tak terbarukan menuju energi terbarukan untuk memenuhi berbagai kebutuhan termasuk terhadap listrik secara dominan datang dari pertimbangan bahwa energi fosil bersifat destruktif dan membawa dampak buruk yang sangat signifikan bagi lingkungan. Hal utama yang terus menjadi perhatian apabila berbicara mengenai dampak lingkungan penggunaan energi fosil adalah produksi emisi dalam jumlah besar yang dihasilkannya. Bedsarkan data Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (DJPPI) KLHK RI, Grafik Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Nasional tahun 2000-2018 menunjukkan energi sebagai sektor yang dominan berkontribusi terhadap peningkatan Emisi GRK Indonesia, bahkan di bebeberapa tahun menjadi kontributor terbesar [9]. Emisi GRK di sektor energi bersumber dari berbagai macam aktivitas sub-sektor yaitu: transportasi, industri, pembakaran BBM dan pembangkitan listrik berbahan bakar fosil.

Total Emisi GRK Indonesia sektor energi pada tahun dasar proyeksi (2010) adalah sebesar 334 juta ton CO2e. Sedangkan, total emisi di tahun proyeksi 2020 diperkirakan naik secara signifikan dua kali lipat menjadi sebanyak 633 juta ton CO2e. Melihat tren emisi GRK sektor energi yang hampir selalu meningkat dan dominan, agaknya proyeksi ini akan menjadi keyataan [10]. Berdasarkan statistik DJPPI KLHK RI, kontribusi sektor energi terhadap emisi GRK nasional mengalami peningkatan signigfikan dari sebesar 317.609 juta ton CO2e pada tahun 2000 menjadi sebesar 595.665 juta ton CO2e atau mencapai 36.4% dari total emisi GRK nasional pada 2018 [9].

Data inventori GRK dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan, di tahun 2015 emisi pembangkit listrik berkontribusi paling besar pada sektor energi, yakni sebesar 175,6 juta ton CO2e atau 67% dari total emisi sektor energi. PLTU batubara secara khusus menyumbang emisi sebesar 122,5 juta ton CO2e atau 70% dari seluruh emisi pembangkit listrik [11]. Emisi pembangkit listrik diproyeksikan meningkat sampai 2 kali lipat pada tahun 2028 menjadi sebesar 351,3 juta ton CO2e dengan kontribusi emisi dari PLTU mencapai 30,.3 juta ton CO2e atau 86% dari total emisi pembangkit listrik [12]. Greenpeace menyebut, PLTU menjadi kontributor terburuk tunggal yang bertanggungjawab atas 46% emisi karbon dioksida dunia [13].

Selain peningkatan emisi GRK yang berimplikasi pada mengingkatnya laju perubahan iklim, penggunaan energi tak terbarukan pada pembangkit listrik juga membawa berbagai dampak negatif lainnya bagi lingkungan. Greenpeace dalam berbagai laporan berkali-kali menyebut, PLTU batubara melepas polutan udara mematikan, menyebabkan penyakit serius dan kematian dini [13]. Polutan yang dihasilkan berupa SOx, NOx, CO dan partikel berupa fly ash yang dikeluarkan melalui cerobong asap yang kemudian bisa dihembuskan oleh angin dan membawa debu ke lingkungan sekitar [14]. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat sejumlah kasus pencemaran lingkungan yang paling banyak ditangani sepanjang 2019 didominasi akibat proyek PLTU [15].

Mengingat sifatnya yang tak terbarukan, pemanfaatan energi fosil dalam pemenuhan kebutuhan listrik sudah pasti berdampak pada ketersediaan energi itu sendiri. Eksploitasi yang terus-menerus apalagi tanpa memperhatikan prinsip berkelanjutan akan berimplikasi pada semakin menipisnya cadangan energi fosil, di samping itu juga merusak lingkungan akibat eksploitasi berlebihan melalui aktivitas penambangan yang dilakukan.

Di sisi lain, terdapat energi baru terbarukan (EBT) yang konsumsi energi finalnya dianggap tidak menghasilkan emisi GRK (emisi GRK relatif nol) karena gas karbon dioksida yang dikeluarkan dari hasil pembakaran akan ditangkap kembali [12]. Hal ini tentu menjadi angin segar bagi upaya menekan emisi dari sektor energi di Indonesia. Di samping itu, penggunaan energi terbarukan termasuk sebagai sumber pemenuhan kebutuhan listrik juga dinilai lebih ramah lingkungan dengan mampu mengurangi pencemaran dan kerusakan lingkungan dibandingkan energi tak terbarukan. Hal ini dikarenakan sifat energi terbarukan yang dapat dipulihkan secara alami dalam kurun waktu yang cukup cepat [16]. Energi terbarukan yang dihasilkan secara alami menjadi sumber energi berkelanjutan (sustainable energy) yang tidak akan habis jumlahnya dan dapat bersifat berkelanjutan apabila dikelola dengan baik.

Tinjauan Dampak Lingkungan PLTB Tolo 1 Jeneponto

Salah satu bentuk pemanfaatan energi terbarukan untuk ketenagalistrikan saat ini dapat ditemukan pada pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB). Pembangkit ini memanfaatkan energi angin untuk dikonversi menjadi energi listrik. Salah satu PLTB terbesar yang telah beroperasi di Indonesia adalah PLTB Tolo 1 yang terletak di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. PLTB ini beroperasi dengan 20 turbin dan terkoneksi dengan jaringan transmisi 150 kilovolt (kV) yang melalui gardu induk Jeneponto.

Berdasarkan hasil observasi langsung pada fasilitas PLTB Tolo 1 Jeneponto dan dialog bersama pihak pengelola, aktivitas pembangunan dan operasional PLTB ini tidak menimbulkan dampak lingkungan yang begitu signifikan. Dari pengamatan, aktivitas PLTB tidak menghasilkan hasil buangan berupa uap yang dapat menjadi polutan penyebab polusi udara sebagaimana umum dijumpai pada pembangkit listik bertenaga bahan bakar fosil seperti PLTU batubara yang saat ini masih mendominasi.

Dari hasil dialog dengan pihak pengelola mengenai dampak lingkungan, didapatkan informasi bahwa operasional PLTB membawa dampak bagi keberlangsungan hidup beberapa spesies hewan terbang yang berada di sekitar lokasi PLTB. Perubahan tekanan udara yang terjadi akibat perputaran baling-baling pada turbin PLTB serta tabrakan yang terjadi dengan turbin dapat menyebabkan kematian burung dan kelelawar. Sejumlah hewan tersebut beberapa kali ditemukan mati di sekitar lokasi PLTB.

Sebagai bentuk pertanggungjawaban, pihak pengelola kemudian melakukan restorasi berupa pelepasan spesies hewan terbang yang sesuai kualitas dan kuantitasnya ke udara. Hal ini merupakan wujud pelaksanaan prinsip pencemar membayar / polluter pays principle dalam Hukum Lingkungan yang secara yuridis diatur di dalam Pasal 87 Ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009 tetang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), yang menyatakan [17]: “Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”

Dampak lingkungan lain yang dikhawatirkan terjadi akibat aktivitas PLTB adalah timbulnya polusi/pencemaran suara yang dapat mengganggu masyarakat sekitar. Namun, menurut pihak pengelola PLTB Tolo 1 Jeneponto yang telah melakukan survey langsung, hingga saat ini dampak demikian belum pernah dikeluhkan masyarakat. Hal ini juga mengingat intensitas suara yang dihasilkan oleh operasional PLTB relatif kecil yakni hanya sekitar 20 desibel (dB). Pihak pengelola juga mengaku siap melakuka upaya-upaya yang diperlukan apabila dampak lingkungan berupa polusi suara dari PLTB terjadi kedepannya.