Mendekat ke Meja Makan

Kesehatan

Penulis: Nandito Oktaviano

Melihat Pandemi dari Dekat

Pandemi telah berjalan hampir dua tahun. Banyak hal berubah begitu cepat. Untuk hal-hal yang sifatnya makro dan tidak bisa saya rasakan langsung, saya kerap tidak menaruh empati yang begitu besar. Akan tetapi, perubahan yang ada di dekat dan terjadi di keseharian saya sulit untuk saya lupakan. Hal tersebut disebabkan oleh pikiran saya tentang narasi besar pandemi ini adalah melulu kematian dan ketidakbecusan pemerintah (dan karenanya begitu menjengkelkan), saya ingin mengajukan cerita yang cukup personal. Ini tentang bagaimana pandemi ini berpengaruh terhadap kehidupan keluarga saya.

Memikirkan Kembali Apa yang Disebut Sebagai ‘Rumah’

Sebagai permulaan, saya mesti mengatakan dengan jujur bahwa sebelum pandemi ini, rumah yang saya tinggali di Makassar hanyalah tempat untuk tidur dan juga makan. Waktu hidup saya, kebanyakan saya habiskan untuk organisasi, teman, atau untuk nongkrong. Segala perasaan, kesusahan, kebahagiaan, pencapaian, atau apapun yang berkaitan dengan hidup saya pertama-tama tidak saya ceritakan di rumah, tetapi di teman-teman yang saya anggap begitu dekat.

Hal ini merupakan konsekuensi logis dari beberapa hal, seperti saya pernah lama merantau, sedari kecil orang tua saya jarang mengajak saya bercerita, dan tentu saja pengalaman pedih bahwa sepertinya di rumah tidak ada yang betul-betul ingin memahami diri saya. Dunia saya begitu berbeda. Saya senang tenggelam dalam banyak bacaan dan gemar berdiskusi tentang banyak hal. Ini dunia yang tidak dimengerti oleh Ibu dan kakak-kakak saya.

Bapak saya punya potensi untuk jadi teman bicara saya, tetapi berbedanya bacaan saya dengan dia serta adanya pengalaman kecil di mana kami berdua jarang berbicara menjadikan Bapak tidak jauh berbeda dengan Ibu atau kakak saya. Jadilah saya orang yang sangat pendiam di rumah (keluarga saya bahkan mengatakan saya tertutup dan tidak tahu bergaul), sedangkan di luar rumah saya begitu enerjik dan sangat cerewet. Ini juga banyak dipengaruhi oleh status saya sebagai anak bungsu. Kalau Bapak marah, biasanya kemarahan itu turun dari Ibu ke semua anak dan sayalah yang paling terakhir. Mantap.

Ketika pandemi, saya ingat sekali, di awal-awal, orang-orang panik dan semuanya tinggal di dalam rumah. Jalan-jalan mulai sepi dan banyak aktivitas dilakukan di rumah. Keadaan ini membuat seluruh aktivitas anggota keluarga dominannya dilakukan di rumah. Hanya kakak pertama saya yang mau tidak mau mesti keluar bekerja karena kantornya mengharuskannya demikian.

Intensitas pertemuan di antara anggota keluarga pun meningkat. Sebelumnya, rumah mulai ramai ketika sore hari saja. Pagi sampai siang, Bapak dan Ibu saya mesti pergi bekerja, kakak saya juga bekerja dan ada yang kuliah, dan saya sendiri juga pergi ke kampus. Biasanya, semua aktivitas di luar rumah itu selesai di sore hari. Meski demikian, kebersamaan tidak juga intens. Ini saya ukur di saat waktu makan malam tiba. Hal yang paling sering terjadi adalah makan sendiri-sendiri. Saya sendiri sering pulang ketika malam begitu larut. Aktivitas sebelum pandemi ini berulang terus menerus dan mendapatkan momen perubahan ketika pandemi tiba.

Kami jadi punya waktu bertatap muka selama 24 jam. Meski demikian, pepatah kuantitas tidak menentukan kualitas ada benarnya juga. Banyak waktu bersama tidak lantas membuat saya merasa dekat dengan anggota keluarga saya. Saya bahkan lebih cenderung banyak menghubungi teman saya dibandingkan berbincang-bincang dengan anggota keluarga saya. Selalu ada batas tak kasat mata yang membuat saya enggan berbicara. Apa ini sesuatu yang lumrah terjadi seiring bertumbuh dewasanya setiap anak? Jika lumrah, apa ini adalah sesuatu yang katakanlah sebaiknya terjadi?

Saya kira tidak juga. Saya kenal beberapa teman yang begitu dengan orang tua mereka. Dekat di sini saya rujukkan ke interaksi yang intens seperti saling curhat dan kondisi di mana anak mampu bercerita apa saja dengan orang tuanya. Saya tidak tahu persis bagaimana cara orang tua teman saya itu membesarkan mereka, tapi seingat saya orang tua saya sedari kecil kerap menciptakan kondisi di mana keterusterangan menjadi hal yang mesti disaring sedemikian rupa. Bahkan sebaiknya didiamkan saja.

Masalah ekonomi misalnya, Bapak saya beberapa kali mengeluarkan kata miskin dan menunjukkan sikap yang sangat keberatan untuk mengeluarkan uang untuk hal-hal ‘tidak berguna’. Saya mengerti bahwa kondisi ekonomi mengharuskan Bapak saya seperti itu, tetapi efek sampingnya ke saya cukup terasa. Saya jadi tidak ingin meminta apapun yang mengharuskan saya membayar. Bahkan ketika itu adalah kebutuhan wajib sekalipun.

Ini membuat hubungan antara Bapak dengan saya di aspek lain begitu dingin. Akhirnya, hubungan kami berdua begitu berjarak. Hal yang mirip terjadi ke Ibu saya. Saya jarang menceritakan hal-hal kecil karena dianggap sepele atau takut dimarahi. Selain itu, kerapkali kedua orang tua saya hanya antusias ketika membahas nilai atau prestasi. Di luar itu, saya pikir kami jarang berbincang tentang hal personal. Ini juga terjadi dengan hubungan saya dengan kakak-kakak saya. Cukup dingin.

Dengan konteks yang demikian, meski akan terjadi pembatasan untuk keluar rumah lagi, saya pikir akan sangat sulit untuk membangun kedekatan di antara kami sekeluarga. Pokoknya sederhana, suasa keterusterangan di dalam keluarga tidak pernah ada. Peran orang tua dalam menginisiasi ini saya kira penting. Setidaknya saya pikir jika saja kedua orang tua saya menceritakan hal personal dan juga mendengarkan hal personal kami, situasi bisa lebih nyaman.

Mungkin saja, ideal orang tua menurut kedua orang tua saya adalah sekadar menafkahi. Itulah yang menjadi sumber persoalan. Muncullah sikap untuk mengesampingkan keadaan personal dan mengutamakan keadaan ekonomi keluarga. Atau, hal yang lebih miris bisa saja seperti ini ceritanya, persoalan ekonomi itu begitu susah dipenuhi sampai-sampai hal personal justru tidak bisa mendapat perhatian sama sekali.

Apapun itu, keadaan pandemi ini membuat saya belajar tentang keluarga saya sendiri. Hanya saja, setelah melakukan refleksi semacam ini, saya juga mulai menyangsikan diri sendiri. Sejak pengalaman menjadi keluarga hanya akan saya tempuh sekali, maka sejatinya masa itu akan dipenuhi kesalahan-kesalahan dari suatu percobaan menjadi orang tua yang ideal.

Mendekat ke Meja Makan

Dulu, ketika saya masih di biara (lembaga pendidikan calon Pastor), saya kerap diberitahu bahwa untuk melihat apakah dua orang Pastor yang bertugas di satu gereja itu dalam keadaan baik-baik saja – lihatlah situasi di meja makannya. Apakah mereka makan berdua? Jika ya, apakah mereka mengobrol bersama dan tampak dekat? Jika dua pertanyaan ini memperoleh jawaban tidak, situasi gereja itu tidak sedang baik-baik saja.

Bagaimana persisnya menjelaskan keterhubungan dua kejadian ini? Saya kira penjelasannya cukup sederhana, ruang temu dua pastor itu paling intens terjadi di meja makan. Di situ, pertemuan personal dua pastor paling sering terjadi. Di luar itu, biasanya tuntutan tanggung jawab sebagai Pastor dan ruang pribadi para Pastor itu begitu besar. Oleh sebab itu, waktu makan adalah waktu yang menjadi tempat pertemuan kedua Pastor ini.

Saya kira, narasi yang saya ajukan di bagian awal adalah narasi yang mirip dengan situasi setiap keluarga. Bahkan untuk saya, meja makan di rumah bisa menyajikan cerita yang jauh lebih kompleks. Di meja makan setiap keluarga, kondisi keluarga secara keseluruhan dapat terlihat.

Saya sendiri merasa mampu menilai kondisi ekonomi dan masalah keluarga dari meja makan. Pada konteks yang pertama, kondisi ekonomi tentu saja, pemilihan lauk dan ketersediaan makanan menunjukkan kondisi ekonomi keluarga. Sementara itu, pada konteks yang kedua, hal yang baru saya dapati belakangan adalah kenyataan bahwa di meja makanlah masalah keluarga terungkap.

Hal-hal yang telah disebutkan tadi baru betul-betul saya perhatikan ketika pandemi. Pasalnya, seperti yang telah saya jelaskan di bagian tulisan sebelumnya, saya jarang sekali di rumah. Selama pandemi, keluarga saya semakin sering makan bersama. Meja makan lantas menjadi riuh rendah.

Bapak saya sampai sering sekali bersyukur karena akhirnya punya waktu untuk makan bersama. Tanpa bermaksud menyepelekan kebersamaan ini, saya ingin mengajukan beberapa perubahan penting dalam keluarga saya. Dan, untuk itu, meja makan menjadi ruang yang memunculkan refleksi tersendiri.

Pertama, meski pandemi dikatakan banyak membuat kondisi ekonomi masyarakat jauh menurun, keluarga saya tidak mengalami penurunan yang terlampau signifikan. Setidaknya, makan sehari-hari itu masih terjamin. Di meja makan, lauk yang berbeda tersaji setiap harinya.

Bantuan dari tempat kerja Bapak (sekolah swasta) dan juga kemampuan mengelola keuangan kedua orang tua saya ternyata cukup baik. Selain itu, pekerjaan Bapak saya tidak menjadi salah satu jenis pekerjaan yang membuat keluarga kami kesulitan untuk memilih antara kesehatan atau kondisi ekonomi. Di sini, saya kira, kondisi ekonomi keluarga kami yang tergolong menengah itu membuat kami tertolong.

Meski demikian, ini tidak berlangsung lama. Perlu ada tambahan pemasukan untuk mempertahankan konsumsi sehari-sehari. Terlebih lagi, penjualan minuman yang menjadi salah satu penopang ekonomi keluarga terpaksa berhenti karena tidak ada yang membelinya lagi. Dengan demikian, merespon hal tersebut, di masa pandemi ini, Bapak berinisiatif untuk membuka usaha pengiriman barang di rumah. Jadilah, rumah menjadi tempat kerja untuk Bapak. Jika sebelum pandemi, rumah adalah tempat berisitrahat, maka sekarang rumah menjadi tempat untuk mencari uang juga.

Perubahan ini mempunyai dampak yang signifikan. Terlebih dalam konteks pembagian kerja. Oleh sebab rumah menjadi tempat kerja maka seluruh keluarga menjadi turut berpartisipasi di dalamnya. Tidak semua anggota keluarga bisa langsung menyesuaikan dengan ini. Ibu yang tidak pandai mengoperasikan komputer jadi tidak bisa berpartisipasi. Saya yang enggan (baca: malas) terlibat terpaksa terlibat.  Kakak saya yang sedang fokus skripsi terpaksa harus berkontribusi. Menariknya, proses penyesuaian ini mengalami proses perbincangan yang cukup —katakanlah— demokratis. Di meja makan hal ini dibicarakan dan masing-masing anggota keluarga menyampaikan halangannya. Bahkan, dalam kesempatan lain, ketika Bapak berusaha menawarkan membuka usaha minuman, masukan dari kakak saya yang masuk akal membuatnya membatalkan niatan itu.

Untuk saya, kenyataan seperti ini adalah kejadian langka. Selama saya hidup di rumah saya ini, keputusan yang berdampak ke keberlangsungan hidup setiap rumah jarang didiskusikan bersama. Keputusan di rumah sangat terpusat di Bapak dan Ibu (bahkan cenderung Bapak saja). Saya pikir pola interaksi seperti ini adalah pola interaksi yang baik dan mendewasakan. Setiap anggota keluarga dianggap setara dalam mendiskusikan masalah.

Dan saya pikir, ini tidak perlu menunggu saat di mana anak-anak besar dan ‘paham’ dulu. Suara anak kecil adalah juga berharga dan berasal dari perasaan dan pengalamannya sendiri. Saya rasa membiasakan untuk memberi ruang untuk berpendapat dan mendengarkan pendapat anak bisa berdampak positif. Saya dulu bahkan sempat iseng berpikir, sepertinya untuk membentuk masyarakat Indonesia yang demokratis, sepertinya ranah perjuangan paling awal yang mesti diperjuangkan adalah keluarga. Apa yang saya ceritakan saya kira bisa menjadi cerminan tersendiri.

Kedua, meja makan di rumah menyadarkan saya juga akan satu hal. Hal ini berkaitan dengan Ibu saya. Saya baru sadar, satu ruang di rumah saya di mana saya mudah berbincang-bincang dengan Ibu saya adalah meja makan. Kebetulan sekali, dapur dan meja makan di rumah berada dalam satu ruangan.

Di ruang tersebut, aktivitas sehari-hari Ibu saya terjadi. Sebelumnya, saya jarang bercerita hal personal atau mendengar hal personal dari Ibu. Namun, ketika pandemi, saya jadi sering di beraktivitas juga di dapur — jangan salah kaprah, saya bantu masak sedikit saja, selebihnya bantu makan.

Karena seringnya beraktivitas di dapur ini, Ibu lantas jadi sering bercerita lepas sambil memasak. Kadang ia bercerita tentang masa kecilnnya, keluhan-keluhannya tentang anak-anaknya yang nakal (yup benar sekali, saya salah satunya). Saya mendengarkan itu dan saya baru sadar, saya jarang mendengarkan cerita-cerita Ibu. Ibu sering sekali merasa rendah diri ketika ingin berbicara dengan kami anak-anaknya. Katanya, dia hanya bersekolah sampai SMA (padahal dia D3 Gizi yang paling tahu obat macam apa yang cocok untuk anaknnya ketika sakit) dan tidak begitu mengerti percakapan anak-anaknya yang serba rumit.

Dalam banyak kesempatan, kadang Ibu juga menceritakan masalah yang dia hadapi. Ini biasanya berkaitan dengan hubungan dengan Bapak, anak, atau masalah finansial. Jika ia bertengkar dengan kakak saya, ia bercerita dengan nada sedih. Biasanya saya menanggapi ini dengan dingin.

Saya tidak ingin terlibat terlalu dalam ke persoalan personal Ibu dan Kakak saya — saya masih bingung mengapa saya begitu tidak peduli. Di lain hal, Ibu juga bercerita tentang masalahnya dengan Bapak. Ini berkaitan erat dengan ketergantungannya secara ekonomi di Bapak.

Saya sendiri melihat ini punya pengaruh negatif yang sangat kuat terhadap hidup Ibu saya. Banyak sekali hal personal yang mesti Ibu korbankan. Jarang saya lihat Ibu saya pergi rekreasi. Ia jadi banyak membatasi dirinya.

Di titik ini, setelah menonton suatu video wawancara Ibu dan anak perempuan kecilnya, saya ingin sekali menanyakan pertanyaan sama yang ada di video itu, “ Ibu, ketika saya lahir, apa yang hilang dari Ibu?”. Pertanyaan ini sangat dalam untuk saya. Bukankah setelah menikah perempuanlah yang kemudian mesti banyak mengubah dirinya sedemikian?

Ini membuat saya melihat kembali diri saya sebagai laki-laki. Saya masih sangat arogan dan dominan dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Bukan tidak mungkin saya akan menjadi serupa Bapa saya. Yang tidak nyaman melihat kemandirian perempuan dan merasa tersaingi ketika perempuan menjadi jauh lebih baik dari saya sebagai laki-laki. Sesuatu yang saya pikir mesti saya pelajari dengan terus dan sampai akhir hayat.

Pernah diterbitkan sebelumnya di Omong-Omong.com (bisa diakses di tautan berikut https://omong-omong.com/mendekat-ke-meja-makan/)