Penyintas Covid: Gangguan Pernafasan atau Gangguan Mental

Kesehatan

Penulis: William Desmond Tonapa

Di era modern saat ini, dunia dilanda sebuah pandemi yang telah menyebabkan banyak masalah. Pandemi ini disebabkan oleh satu jenis penyakit bernama Covid 19. Mengutip tulisan dari alodokter.com, Covid 19 adalah penyakit yang disebabkan oleh virus SARS Coronavirus 2. Penyakit ini umumnya menyebabkan gangguan sistem pernapasan yang dimulai dari gejala ringan seperti flu hingga infeksi paru-paru. Sejak kasus pertama, yang terjadi Wuhan, Tiongkok, angka penularan penyakit ini dapat dikatakan sangat cepat. Hanya dalam setahun lebih, kasus positif penyakit ini telah mencapai kurang lebih 222 juta. Indonesia termasuk salah satu negara  dengan jumlah korban positif Covid 19 terbanyak di Asia Tenggara. Berdasarkan data Satuan Gugus Tugas Covid 19, kasus positif di Indonesia kini mencapai kurang lebih empat juta. Kasus penyakit yang mulanya hanya menginfeksi dua sampai tiga orang, kini telah berkembang empat juta kali lipat hanya dalam kurun waktu 1,5 tahun.

Dalam penanganan untuk mencegah meningkatnya angka penularan penyakit, WHO telah memberitahukan langkah-langkah dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan. Dalam langkah pencegahan, setiap orang diwajibkan menggunakan masker saat berada di luar ramah, senantiasa mencuci tangan, menjaga jarak, menghindari kerumunan dan mengurangai mobilitas. Bahkan, pemerintah setempat telah melakukan berbagai hal seperti PPKM, penutupan tempat berpotensi kerumunan, kegiatan belajar mengajar dilakukan secara daring, dan pelaksanaan vaksinasi. Sementara itu, dalam hal penanggulangan, setiap inividu yang terinfeksi, diwajibkan untuk melakukan isolasi mandiri, menjaga jarak, makan makanan sehat, selalu memakai masker, dan olahragra teratur.

Pencegahan dan penanggulangan membawakan pengaruh yang sangat besar pada angka kesembuhan. Walaupun kasus Covid selalu meningkat setiap harinya, angka kesembuhan Covid cukup melegakan. Kurang lebih terdapat 3,8 juta kasus sembuh dari4 juta orang yang dikabarkan positif Covid.. Jadi, perbandingan antar kasus positif dengan kasus kesembuhan adalah 9/10. Angka kesembuhan juga sangat cenderung meningkat dengan pelaksanaan vaksin di berbagai daerah, sehingga setiap orang mendapatkan perlindungan sekitar 60-70 persen. Memang, vaksinasi tidak dapat menjamin tidak dapat terkena Covid 19, tapi vaksinasi memberikan dampak serta mengurangi gejala. Selain itu, Isolasi mandiri (Isoman) memberikan hasil yang sangat baik dalam mencegah penularan yang semakin meningkat. Dalam beberapa kasus di lingkungan rumah tangga, ketika satu orang terinfeksi virus dan langsung melakukan isolasi mandiri, orang yang tinggal dalam rumah tidak mengalami gejala atau negatif dari Covid 19. Selain itu, Isoman juga dapat menjadi suatu kesempatan bagi sebagian individu untuk beristirhat dan memulai pola kehidupan sehat.

Orang-orang yang telah sembuh dari Covid pada umumnya disebut sebagai penyintas Covid. Penyintas Covid dapat dikatakan sembuh ketika hasil Swab Test dinyatakan negatif. Penyintas Covid dalam berbagai penelitian tidak dapat menularkan penyakit Covid, tapi masih memiliki kemungkinan untuk kembali mengalami gejala gejala Covid. Gejala-gejala yang terjadi pada tubuh individu yang sembuh biasanya akan terjadi selama beberapa hari. Peristiwa ini disebut sebagai Long Covid. Long Covid bukan hanya berpengaruh pada fisik seseorang, melaikan pada mental seseorang. Salah satu gelaja Long Covid yang dilansir dari Alokdokter.com adalah tingkat kecemasan yang tinggi, yang berpotensi membuat seseorang mengalami gangguan kesehatan mental.

Kesehatan mental merupakan hal yang sering diabaikan oleh sebagian besar orang seakan-akan bahwa hal tersebut dapat sembuh dengan sendirinya. Kesehatan mental akan dialami oleh sebagian besar orang. Padahal, justru persoalan kesehatan mental seharusnya penting untuk diperhatikan. Lebih-lebih dalam konteks penyintas Covid 19. Dilansir dari Pikiran Rakyat, dr. Teddy Hidayat dalam pembukaan Kolaborasi Internasional dalam Workshop Kesehatan Jiwa pada Pandemi Covid-19, mengungkapkan bahwa sebagain besar pasien Covid hanya diobati secara medik berkisar 9%, dan persoalan kesehatan mental mencapai 91%.

Sebelum mengenal lebih jauh gangguan kesehatan mental terhadap penyintas Covid, pengertian dari gangguan kesehatana mental itu sendiri perlu diketahui. Gangguan  mental adalah penyakit yang memengaruhi emosi, pola pikir, dan perilaku penderitanya. Hal ini dipicu karena adanya kerusakan fisik , tapi sebagian besar dialami oleh kondisi psikologi yang dipicu akibat trauma di masa lalu. Gangguan mental juga adalah sebuah penyakit yang sadar tanpa sadar seseorang akan mengalaminya.

Mengutip penelitian “Post Traumatic Stress Disorder in Patients After Severe COVID-19 Infection” yang diterbitkan jurnal ilmiah JAMA Psychiatry pada tahun 2021, sebesar 30,2% dari total 381 responden penyintas COVID-19 mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD atau Gangguan Stres Pascatrauma). Menurut data dari PDSKJI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia), sebanyak 80% dari 182 hasil swaperiksa mengalami gejala stres paska trauma psikologis karena mengalami atau menyaksikan peristiwa tidak menyenangkan terkait COVID-19. Sebesar 46% bergejala berat, 33% sedang, 2% ringan, dan sisanya tidak bergejala.

Stigma negatif merupakan faktor utama terjadinya trauma yang cukup berat kepada penyintas Covid 19. Salah satu kasus yang sering terjadi adalah pada perubahan lingkungan oleh sosial yang dialami penyintas Covid. Ada seorang ibu rumah tangga, yang terpapar Covid 19 tanpa merasakan gejala apapun. Dia melalukan isoman selama 14 hari dan dia banyak mendapatkan dukungan dari orang di sekitarnya. Setelah sembuh, perasaan bahagia tersebut sangat dirasakannya. Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Lingkungan sosial dari ibu ini seakan akan menyudutkan dan mengasingkannya. Orang-orang sekitarnya yang dulu dekat kini menjauhinya. Bahkan, anak-anaknya tidak diizinkan bermain dengan anak-anak lain. Hal ini memicu gejala Stress Pasca-trauma pada ibu ini. Stress dan kecemasan berlebih hingga depresi mengikutinya selalu.

Kasus gangguan mental penyintas Covid juga dialami oleh penulis. Penulis adalah orang yang sangat mematuhi protokol kesehatan. Penulis adalah orang yang jarang beraktivitas di luar rumah karena khawatir akan terpapar. Sebagian besar tawaran untuk pergi jalan-jalan ataupun makan bersama di rumah teman penulis tolak demi kesehatan. Suatu ketika, di mana untuk pertama kalinya penulis melakukan makan bersama di sebuah acara. Penulis dinyatakan positif selama tiga hari setelah kegiatan selesai. Penulis melakukan isolasi mandiri di kamar. Rasa cemas dan khawatir akan menularkan penyakit kepada orang di rumah membuat penulis semakin stress. Belum lagi dengan adanya suatu tekanan di luar yang seakan-akan menyalahkan kondisi yang penulis alami membuat penulis semakin putus asa. Ini membuat penulis skeptis terhadap banyak hal, terutama mengenai protokol kesehatan. Menurut penulis, penulis tidak seharusnya terpapar. Penulis jarang beraktivitas di luar rumah, namun justru penulis yang terpapar. Dibandingkan dengan teman-teman penulis yang justru menikmati hidup seakan akan pandemi ini tidak ada, rasa cemas dan iri semakin menumpuk dan putus asa akan hidup semakin dalam. Apalagi dengan padatnya aktivitas yang tertunda akibat isoman membuat tekanan semakin berat. Seakan-akan, bahwa apa yang dilakukan untuk mencegah terpapar virus hanyalah hal yang tak berguna. Terpaparnya seseorang bukan ditentukan oleh seberapa besar kepatuhan terhadap protokol kesehatan, tapi hanya sebuah kejadian kebetulan. Artinya orang-orang hanya tinggal menunggu giliran saja untuk merasakan, seperti bermain gacha  dalam sebuah game, semahal-mahal apapun biaya yang dikeluarkan, tidak menjadi hal yang pasti bahwa apa yang akan didapatkan adalah hal yang bagus.  Akibat dari stress dan depresi yang  penulis alami ini, penulis berusaha untuk menenangkan diri dengan berbagai cara.

Kondisi gangguan mental penyintas Covid, menurut pandangan penulis, diumpamakan sebagai air dalam wadah. Wadah tersebut adalah wadah yang kuat ketika tidak terpapar. Orang ini melakukan berbagai cara dalam mencegah terpaparnya dirinya terhadap Covid 19. Namun, ketika dia terpapar, wadah ini akan mengalami keretakan yang cukup hebat. Kekecewaan terhadap diri sendiri dan terhadap lingkungan sekitar membuat wadah yang sebelumnya sangat kokoh malahan kini mengalami keretakan. Setelah sembuh, keretakan tersebut berhasil ditutupi kembali. Namun, air dalam wadah tersebut justru tidak tenang. Gelombang air yang dipicu oleh adanya stigma negatif, tekanan sosial, tekanan ekonomi bahkan rasa depresi membuat wadah kembali retak dan penampang atas yang terbuka justru menumpahkan air tersebut. Penyintas Covid merasa seakan-akan kembali ke masa dimana pengidap penyakit kulit menular akan diasingkan dan dicap sebagai orang yang melakukan dosa. Penyakit Covid seperti penyakit kutukan yang hanya akan dialami oleh orang-orang melakukan hal bercela. Bila hal ini terus dibiarkan seakan itu hanya hal yang biasa, akan ada kemungkinan penyintas Covid akan kembali terpapar dan mengalami kondisi yang lebih berat. Rasa kecemasan yang belerbih dan stress dapat memicu turunnya imunitas tubuh sehingga tubuh menjadi tidak tanggap terhadap kondisi yang dialami.

Untuk mengatasi setiap gangguan mental dialami oleh penyintas Covid, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan agar kondisi mereka kembali membaik. Pertama adalah pendampingan psikolog. Penyintas Covid akan mengalami masalah kesehatan mental karena merasa stres. Belum lagi selama masa pemulihan mereka harus diisolasi sehingga tidak bisa berinteraksi langsung dengan orang-orang terdekat. Hal itu tentunya bisa menimbulkan masalah kesehatan mental tersendri. Bahkan masalahnya bisa berlanjut hingga mereka dinyatakan sembuh dan keluar dari rumah sakit. Dokter spesialis kejiwaan Diah Setia Utami menjelaskan, mereka yang telah sembuh dari Covid-19 mengalami trauma psikologis sehingga harus tetap mendapat pendampingan dari tenaga profesional. Pasien Covid-19 yang telah sembuh sebaiknya tetap berkonsultasi dengan tenaga profesional seperti psikolog atau psikiater.

Kedua, mengurangi aktivitas sosial media. Aktivitas sosial media akan memicu kekhawatiran berlebih. Apalagi, bila terus memantau angka positif yang semakin naik, justru akan membuat penyintas Covid mengalami trauma sehingga tidak ingin kembali bersosialisasi. Sosial media juga memicu rasa kecewa, terutama pada kalangan anak muda. Penyintas Covid yang berusia 18-23 tahun akan merasakan iri hati dan stress yang luar biasa. Mereka memantau sosial media yang dimiliki oleh teman-teman mereka yang menikmati hidup mereka seakan tidak adanya pandemi. Dengan mengurangi sosial media, dapat menghilangkan kekhawatiran dan kekecewaan berlebih kepada penyintas Covid

Ketiga adalah melakukan berbagai kegiatan produktif. Kegiatan produktif dilakukan dengan tujuan untuk mengalihkan pikiran akan trauma yang dialami. Kegiatan produtif yang dapat dilakukan adalah menulis, membaca, olahraga atau apapun yang dapat mengalihkan pandangan. Dengan melakukan kegiatan produktif, rasa stress akan turun dan membuat mendapat berbagai pengalaman baru.

Dalam mengatasi ganguan mental, kekuatan utama dari dalam adalah dari diri sendiri. Bila seseorang mampu menerima dirinya dan mengetahui bahwa dia tidak akan pernah bisa maju bila hanya tenggelam dalam depresi. Dukungan keluarga dan orang-orang terdekat merupakan kekuatan utama dari luar. Dengan menghilangkan stigma negatif dan menerima bahwa penyintas Covid adalah orang yang seperti terkena bencana alam, dalam artian, tidak dapat dicegah begitu saja dan sebuah korban dari perisitiwa yang tak terhindari, penyintas Covid dapat menjadi seseorang yang tetap semangat dalam menjalani hidupnya.

Referensi:

Indriat, Septi. (2021). Dahsyatnya stigma bagi kesehatan mental penyintas Covid.  Diakses dari 07 September 2021 : https://rsjd-surakarta.jatengprov.go.id/wp-content/uploads/2021/07/Artikel-web-RSJ-Dahsyatnya-pengaruh-stigma-untuk-kesehatan-mental.pdf

Nurullah, Novianti.  (2021, Januari 11). Suvey PDSKJI: Pandemi Semakin Memperpara:h Kesehatan Jiwa, Hanya 9 Persen ditangani medik. Diakses dari 07 September 2021 : https://www.pikiran-rakyat.com/gaya-hidup/pr-011256588/survei-pdskji-pandemi-semakin-memperparah-kesehatan-jiwa-hanya-9-persen-yang-ditangani-medik

Pane, Mery Dame Cristy. (2021, Agustus 6). Covid 19. Diakses dari https://www.alodokter.com/covid-19

Vibriyanti, Deshinta. (2020). Kesehatan Mental Masyarakat : Mengelola Kecemasan di Tengah Pandemi Covid 19. Jurnal Kependudukan Indonesia | Edisi Khusus Demografi dan COVID-19,69-72.

Willy, Tjin. (2020, Agustus 28). Gangguan Mental. Diakses 07 September 2021 dari https://www.alodokter.com/kesehatan-mental